Thursday, August 18, 2011

KAMPUS PRODUSEN KORUPTOR

"Yang terpuji yang mencuri."
Banyak paradoks di dunia ini - juga di negara kita tercinta. Namun di antara sekian paradoks, banyak yang tak tampak, terlupakan, atau malah sengaja dilupakan.

Jika kita melihat kampus dan mahasiswanya, tentu kita berharap bahwa dua unsur "intelek" tersebut adalah harapan terbesar bangsa. Idealnya memang begitu. Tapi, apakah kenyataannya seperti itu?

OK! Marilah kita lihat sejenak!
  • Maba atau mahasiswa baru masuk ke kampusnya dengan penuh semangat. Alumni SMA; SMK; dan MA itu masih menyisakan semangat "kepatuhan" yang mereka bawa dari sekolahnya. Buktinya: mereka mau disuruh apa saja oleh seniornya pada saat perpeloncoan. Mau berpakaian yang aneh-aneh di jalan-jalan, mau disuruh berbuat yang aneh-aneh oleh kakak tingkat. Sebelum ayam berkokok, mereka sudah stand-by di kampus. Semangat kepatuhan yang luar biasa - jika Anda melihatnya.

    Namun, tunggu saja satu-dua tahun! Semangat tadi akan berubah total. Mengapa? Simple: mereka mendapat contoh yang buruk. Dari siapa? Kakak tingkat? Bukan! Mereka dapatkan itu dari yang patut  digugu, yaitu "dosen".

    Bagaimana tidak? Dosen datang terlambat, dosen tak datang sama sekali, dosen menyalahi janji. Ironisnya, itu terjadi acap kali sehingga menjadi sebuah budaya (yang dianggap wajar - bahkan sudah semestinya terjadi, baik oleh si dosen maupun mahasiswanya). Jadi, tanpa disadari, budaya disiplin dan kepatuhan terhadap waktu yang sudah terbentuk selama kurang lebih dua belas tahun itu, sirna secara perlahan - tapi pasti. Jika Anda seorang mahasiswa, cobalah rasakan dalam-dalam! Bagaimana mungkin "tradisi jam 7" yang dipupuk selama 12 tahun bisa menjadi "tradisi jam karet"?

    Jadi: warga negara korupsi waktu, karena pejabatnya korupsi waktu, karena mahasiswanya (calon pejabat) korupsi waktu, karena dosennya (yang digugu) kurupsi waktu. Tampak seperti lingkaran setan, bukan? Tapi saya yakin Anda tahu: dari mana harus memulai jika kita ingin memperbaikinya.
  • Rata-rata maba yang sebagian besar baru lulus SMA, masih "berpengetahuan" polos. Mereka belum paham sepenuhnya praktek-praktek politik (trik dan intrik), meskipun pernah menjadi pengurus OSIS. Mereka bahkan - secara praktek - belum paham apa itu mark-up.

    Tapi, tunggu saja satu-dua tahun! Mereka akan menjelma menjadi ahli rekayasa dan tukang jilat. Mengapa bisa?

    Rata-rata dosen memberi nilai secara subyektif. Beberapa ada yang secara random. Penyebabnya? Ya itu tadi: mereka sering bolos, dan hanya punya sedikit waktu untuk mengenali mahasiswanya satu demi satu. Saat pengisian nilai, beberapa dosen punya kecenderungan untuk memberi nilai bagus pada mahasiswa yang dikenal saja, yang pintar mengambil hati mereka. Mahasiswa yang "paham", akan menjadi "pintar" menyikapi situasi ini. Yang "goblok"? Ya..., siap-siap saja jadi "macan kampus"! Jika pernah menjadi mahasiswa, pasti Anda tahu bahwa jadi mahasiswa cerdas saja tidak cukup untuk mendapat nilai bagus.

    Saat lingkungan bersifat subyektif, orang cenderung menjadi penjilat dan oportunis. Saat inilah fairplay jadi tak bermakna. Saat mahasiswa berpikir bahwa fairplay tak ada artinya, di saat yang sama ia akan berpikir bahwa belajar sungguh-sungguh tak ada gunanya. Bagaimana dengan syarat studi? Cukup main curang saja dan tipu-tipu. Bukankah ahli tipu-tipu adalah syarat untuk menjadi koruptor?

    Selama menjadi aktivis, mahasiswa banyak membuat proposal; banyak belajar mereka-reka pendanaan. Kecenderungannya: dalam membuat anggaran mahasiswa suka menggelembungkan dana hingga berlipat-lipat. Untuk jaga-jagakah? Bukan, tetapi untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Mengapa?

    Teman-teman saya dari berbagai kampus sering bilang, "Dosen-dosen dan pejabat-pejabat kampus itu kalau ada proyek juga suka 'makan uang' dan ambil untung sendiri jika ada proyek atau kegiatan kampus. Kita sering nggak dapat sama sekali. Jadi, mengapa kita tidak buat demikian jika ada kesempatan?"

    Bagaimana menurut Anda? Parah? Lebih parah lagi saat ada kecenderungan mark-up yang dilakukan oleh para aktivis dibiarkan oleh dosen dan pejabat kampus, karena ada indikasi mereka juga dapat "alasan" untuk mengucurkan dana dari kas. Kampus memang tempat yang aman dan ideal untuk berlatih menjadi koruptor sejak dini. Hahaha...!
  • Para dosen sering berpikir bahwa merekalah "raja" - setelah apa yang mereka peroleh dengan susah payah: gelar master; doktor; dan profesor itu. Jarang di antara mereka yang berpikir bahwasanya merekalah pengabdi. Tak percaya? Jika Anda pernah menjadi mahasiswa, coba ingat berapa orang dari sekian dosen yang berlapang dada saat pendapatnya Anda sanggah? Dari penyepelean mereka terhadap nasib mahasiswa, kita bisa tahu bahwa mereka tak peduli pada mahasiswanya. Tak peduli pada orang-orang di bawah Anda, adalah salah satu syarat 'tuk jadi koruptor. Dan, sifat buruk inilah yang diwariskan kepada "calon-calon pejabat" Anda. Pembaca yang Budiman boleh percaya atau tidak, banyak di antara para sarjana yang berpikir bahwa mereka berhak mendapatkan sesuatu yang lebih "dengan jalan apapun" - karena gelar yang telah susah payah mereka peroleh. Karena merasa telah banyak berkorban demi gelar, mereka merasa berhak mengorbankan orang lain pula.

    Padahal, guru-guru kita selama kurang lebih dua belas tahun selalu mengajarkan sifat-sifat baik seperti menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menjadi pemimpin yang baik, dan menjadi orang yang tidak zalim baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Hal tersebut sesuai dengan semangat Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Namun, dihancurkan semena-mena oleh kampus, yang mana cuma dijadikan tempat bisnis oleh para dosennya; dan tempat untuk mencari ijazah (modal kerja) bagi para mahasiswanya.
Mungkin bagi beberapa pembaca tiga poin pendapat saya tadi bersifat subyektif. Namun, kita mesti berpikir juga: mengapa para pemimpin kita korup dan jahat. Bukankah rata-rata pembesar itu output dari kampus-kampus? Pasti ada yang salah dengan kampus. Logikanya: kampus adalah tempat paripurna di mana seseorang ditempa secara formal. Pasti ada yang salah.

No comments:

Post a Comment

Please type your comment here!