(Courtesy of: rizqiebook.blogspot.com)
Real Madrid baru
saja mengalami kekalahan dari klub Jerman, Bayern Muenchen, pada lanjutan
semifinal Liga Champions Eropa. Sebuah kekalahan yang menyakitkan (tepatnya
begitu), karena diderita dari kekalahan adu pinalti. El Real dipaksa melakoni
adu pinalti setelah gagal mengubah skor 2-1 yang bertahan hingga 90 menit pertama +
tambahan waktu 2 kali 15 menit. Skor tersebut membuat agregat sama dan kedudukan
seimbang antara kedua tim, karena pada pertandingan leg pertama Muenchen juga unggul dengan skor sama di Allianz Arena.
Dua penendang
awal El Real, yakni Cristiano Ronaldo dan Kaka’, gagal menceploskan bola ke
gawang Manuel Neuer. Kiper timnas Jerman ini memang sigap mengantisipasi
tendangan kedua mantan pemain terbaik dunia tersebut. Sementara dua penendang
pertama dari kubu Muenchen, David Alaba (pemain muda berusia 19 tahun) dan striker Mario Gomez, sukses melaksanakan
tugasnya mencetak gol dengan menipu Iker Casillas.
Sesungguhnya, El
Real kembali memiliki asa untuk menang, setelah penendang ketiga (Xabi Alonso)
berhasil membobol gawang Neuer; serta Iker Casillas berhasil membaca arah dan mem-blok
tendangan dua pemain Muenchen berikutnya, yang masing-masing dieksekusi oleh
Toni Kroos dan (Kapten) Philip Lahm. Namun, asa itu sirna tatkala penendang
keempat Madrid, Sergio Ramos, melambungkan bola di atas mistar gawang.
Akhirnya, dengan keunggulan 3-1 Muenchen pun berhak untuk lolos ke final di
Allianz Arena – yang merupakan markasnya sendiri – pada 19 Mei nanti.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebelumnya,
Barcelona – sebagai rival abadi Real Madrid – juga berhasil dibekuk oleh
Chelsea di Camp Nou dengan agregat 2-3. Dengan dua hasil tersebut maka buyar lah prediksi sebagian besar
pengamat dan harapan sebagian besar fans
sepakbola untuk menyaksikan final El
Classico di Liga Champions musim ini. Hal ini sekaligus menjawab harapan
dan prediksi sebagian fans dan
beberapa orang skeptis di forum-forum maya mengenai final ideal antara
Bayern dan Chelsea.
Cukup menarik
untuk diungkap: apa kiranya yang menjadi penyebab dari kegagalan terciptanya
final El Classico, karena ini sekali
lagi – seolah-olah – mengulang cerita pada musim 2003/2004. Saat itu, yang
menjadi favorit adalah tim-tim besar seperti Real Madrid dan Manchester United. Namun,
AS Monaco dan FC Porto lah yang melenggang ke final, dimana akhirnya
pertandingan itu dimenangkan oleh Porto dengan skor 3-0.
Ada dua hal yang kiranya bisa dijadikan alasan mengapa final "ideal" tidak terjadi di kompetisi
semacam Liga Champions. Yang pertama adalah alasan logis, sedangkan yang
satunya lagi adalah alasan non-logis.
Kita mulai dari
alasan non-logis terlebih dahulu. Banyak pihak
yang beranggapan bahwa kekalahan Barcelona atas Chelsea disebabkan oleh faktor luck atau keberuntungan. Dengan begitu
banyaknya peluang mencetak gol yang dimentahkan oleh mistar gawang kiper
Chelsea, Petr Cech, orang-orang beranggapan bahwa Barca sedang sial. (Saya jadi
teringat pada kepercayaan beberapa fans
sepakbola: jika bola terlalu sering membentur mistar gawang, maka itu pertanda
akan kalah.) Tercatat ada dua tendangan Lionel Messi yang membentur mistar
gawang. Pertama adalah saat eksekusi pinalti akibat pelanggarang terhadap Cesc
Fabregas, dan kedua adalah saat melepaskan tembakan kaki kiri yang membentur
tiang sebelah kiri Petr Cech. Seperti kata komentator pada pertandingan
tersebut, “Again, Chelsea (are) being saved by the frame. (Sekali lagi Chelsea
terselamatkan oleh mistar).” Mengutip sebuah laman di Goal.com, Francesc Fabregas juga berujar, “Kami bermain lebih baik
daripada mereka. Namun, kadang sepakbola itu tidak adil.”
Melihat
kekalahan Real Madrid dari Bayern Muenchen, kita juga akan menangkap beberapa
aura ketidakberuntungan pada kubu El Real, terutama pada saat terjadinya adu
pinalti. Mega bintang seperti Ronaldo dan Kaka’ begitu gampangnya kehilangan
peluang untuk mencetak gol dari titik putih. Bagi Ronaldo kegagalan itu
menandai akhir dari kesuksesannya menceploskan 25 gol dari titik putih selama
musim ini untuk El Real.
Namun, yang
lebih menarik adalah bila kita melihat dari sisi entrenador Jose Mourinho. Mourinho punya catatan unik di Liga Champions
untuk urusan adu pinalti. Rupanya, The
Special One juga pernah gagal sebelumnya kala masih membesut Chelsea. The Blues
saat itu ditekuk The Reds di stadion
Anfield pada second leg semifinal Liga Champions musim 2006/2007 lewat drama adu pinalti
yang berkesudahan 4-1. Jadi, seolah-olah ini adalah kutukan yang berulang bagi
sang pelatih. Lagi-lagi aura ketidakberuntungan hinggap di sini.
Akan tetapi,
bila kita mengkaji penyebab gagalnya final El
Classsico dari sisi logis, maka saya lebih cenderung menuduh faktor
ekspektasi (harapan) lah yang menjadi biang keladinya. Mengapa begitu? Kita sama-sama
tahu bahwa Barcelona dan Real Madrid – bisa dibilang – adalah dua klub terbaik
di dunia saat ini. Pemain-pemain bintang di kedua kubu, seperti Messi; Ronaldo;
Xavi; Benzema; Iniesta; Kaka; Fabregas; dan lainnya; selalu mendapatkan
ekspektasi atau harapan besar setiap kali bertanding – baik dari kubu fans;
pengurus klub; bahkan pengamat sekalipun. Hal itu sedikit banyak memberi beban
ekstra di pundak mereka, dibandingkan pemain-pemain dari klub lain yang
dianggap underdog. Dari kacamata
Messi dan Ronaldo saya melihat bahwa kegagalan mencetak gol apalagi memenangkan
pertandingan, merupakan aib yang harus ditanggung dengan cemoohan dan caci
maki. Terlebih dengan status mereka sebagai dua pemain terbaik dunia, yang acap
kali dibanding-bandingkan dengan legenda macam Pele dan Maradona.
Efek tekanan
tersebut terlihat pada saat Barcelona berhadapan dengan Chelsea beberapa hari
yang lalu. Lionel Messi terlihat sedikit gugup saat mengambil tendangan pinalti
yang dihadiahkan wasit – yang kemudian berujung pada kegagalan. Di akhir
pertandingan Messi juga terlihat tertekan (dengan merukuk sambil menutupi
kepala dengan kausnya) setelah harus menerima kenyataan bahwa timnya gagal
mempertahankan gelar juara.
Melihat eksekusi
pinalti yang gagal oleh Ronaldo dan Kaka’ saat berhadapan dengan Muenchen, kita
juga bisa merasakan tekanan yang sama ada pada mereka. Ronaldo yang sebelumnya
selalu sukses sebanyak 25 kali beruntun menyarangkan bola ke gawang lawan lewat
titik putih, kini harus gagal melakukan salah satu "spesialisasi"-nya di sebuah
partai dimana seharusnya ia tidak gagal. Sergio Ramos yang sejak awal eksekusi sudah gugup, juga mengekspresikan ketidaksanggupan untuk menanggung
beban harapan menang Los Galacticos Jilid
Kedua – sehingga berakhir dengan sepakan melambung tinggi di atas mistar
gawang.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ekspektasi bisa
menaikkan semangat, tetapi di saat yang berbeda juga bisa memberikan beban yang
berlebih. Keberuntungan bisa membuat yang diremehkan keluar sebagai juara. Namun,
di luar semua itu sepakbola tetap indah untuk disaksikan – siapapun
pemenangnya. J
Salam olahraga,
‘Ammar Lelo Andiko, fan sepakbola