Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Thursday, October 6, 2011

KOMENTARKU TENTANG STEVE JOBS DI FACEBOOK

Steve Jobs - pendiri Apple ini - bagi saya merupakan salah satu inspirasi, seperti bagi banyak orang lain di muka bumi. Saking inspiratifnya beliau, kematiannya meninggalkan sesuatu yang tak biasa di dalam hati. Secara personal, saya merasa bahwa jalan pikiran dia dan saya sama dalam beberapa hal. Hanya saja, saya belum sepenuhnya mampu mengikuti kata hati, seperti yang ia dan saya sama-sama sepakati.

Saya pun menuangkan emosi dalam jiwa dengan menulis beberapa status berikut di Facebook. Semoga bisa menjadi renungan dan manfaat bagi kita semua!

What? I couldn't believe it for a moment while I read that Steve Jobs had already gone, Mate. Now I know he's gone forever. What a miss for the world! :(
--------------------------------------
Turut berduka cita yang dalam...
--------------------------------------
Steve Jobs adalah salah satu contoh jelas betapa seorang pria (manusia) harus menjadi. Ia contoh gamblang tentang apa makna sukses itu. Sekolah untuk belajar, bukan sekedar mencari gelar. Berilmu untuk akhirnya menciptakan karya puncak; manfaat puncak. Di saat orang lain cenderung untuk mengikuti arus yang sama, ia lebih memilih untuk mencari jalannya sendiri - menurut kata hatinya - mesti harus meninggalkan "pendidikan formalnya". Ia melanglang hingga ke "ujung dunia" dan melepaskan "ketololan" serta "kesemuan" formalitas di bangku studi. Label-label dan simbol-simbol yang dibuat di dalamnya, memang jauh dari memuaskan bagi pribadi-pribadi yang mencari pencerahan: yang mencari jati dirinya sendiri. Ia mungkin temukan "spiritnya" di India. Aku bahkan bingung kehabisan kata untuk menggambarkan pribadi yang satu ini.

Ia adalah seniman sejati. Ia adalah guru besar sejati. Semestinya profesor-profesor itu; dosen-dosen itu; dan orang-orang di dunia, belajar darinya mengenai apa arti kata "DEDIKASI".

"JADILAH APA YANG KATA HATIMU INGINKAN, SEBAB DENGANNYA KAU BISA BERMANFAAT BAGI DUNIA!"

---------------------------------------
Kawan! Jadilah seperti Steve Jobs; Bill Gates; atau orang besar lainnya yang bisa Kau lihat dengan jelas hari ini! Jangan ikuti "style" kampusmu, karena di sana hanya ada kemunafikan. Kau akan lebih banyak menipu dirimu sendiri. Coba Kau pikir, orang-orang yang duduk di atas sana, sebagian besar dari mana asalnya??? Apa yang mereka berikan??? Kerusakan bukan??? Kalau hanya untuk mencari makan buat perut sendiri, ayam pun juga bisa.

Jika Kau tanyakan mengapa, itu karena budaya pendidikan di Indonesia salah besar - sehingga menghasilkan orang-orang yang salah pula: pemimpin-pemimpin yang tidak semestinya. Kamu pikir, apa Kamu bisa jadi dokter dan insinyur bila Kamu tidak punya uang??? Dan, jika Kamu berhasil menjejakkan kaki di kampusmu, apakah Kamu tidak melihat sehari-harinya bahwa dosen dan profesormu lebih mirip pedagang dan pecundang yang tak berdedikasi???

Jika Kau rasa perlu meninggalkan kampusmu, tinggalkanlah sekarang - terutama bila Kau mampu! Ikutilah kata hatimu! "Jadilah seperti Steve Jobs!"

---------------------------------------
Subhanallah...! Saya baru saja menemukannya di internet. Sebuah komentar Steve Jobs yang mirip sekali dengan komentar-komentar yang barusan aku tulis di status. Berikut komentarnya: "Your time is limited, so don't waste it living someone else's life! Don't be trapped by dogma - which is living with the results of other people's thinking! Don't let the noise of others' opinions drown out your innervoice! And most important, have the courage to follow your heart and intuition! They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary." (Waktumu terbatas, maka jangan membuangnya dengan tinggal dalam "kehidupan" orang lain! Jangan terjebak oleh dogma - yang mana hidup dengan hasil dari apa yang orang lain pikirkan! Jangan biarkan suara-suara dari opini orang lain menenggelamkan suara hatimu! Dan yang terpenting, milikilah keberanian untuk mengikuti hati dan nalurimu! Kadang mereka sudah tahu, jadi apa yang benar-benar Engkau inginkan. Yang lainnya hanyalah sekunder saja.

Ternyata, suara kebenaran selalu datang dalam bentuk yang serupa. Itu tak bisa dibohongi oleh manusia manapun. Profesor terhebat pun hanya akan menjadi orang tertolol jika ia membohongi kebenaran hati.







Bagi saya pribadi, hal terpenting tentang Steve adalah sikap dan kepribadiannya. Banyak di antaranya merupakan hal-hal besar yang patut dicontoh - di mana pada masa kini kita, sebagai sebuah bangsa, menderita kekurangan contoh baik. Kekurangan contoh baik, di tengah masyarakat dapat mengakibatkan keputusasaan dalam berbuat baik. Dan, keputusasaan dalam berbuat baik, akan menimbulkan keengganan untuk berkarya, serta yang paling penting: "untuk mengikuti kata hati".


Sekali lagi, semoga bermanfaat!

Thursday, August 18, 2011

KAMPUS PRODUSEN KORUPTOR

"Yang terpuji yang mencuri."
Banyak paradoks di dunia ini - juga di negara kita tercinta. Namun di antara sekian paradoks, banyak yang tak tampak, terlupakan, atau malah sengaja dilupakan.

Jika kita melihat kampus dan mahasiswanya, tentu kita berharap bahwa dua unsur "intelek" tersebut adalah harapan terbesar bangsa. Idealnya memang begitu. Tapi, apakah kenyataannya seperti itu?

OK! Marilah kita lihat sejenak!
  • Maba atau mahasiswa baru masuk ke kampusnya dengan penuh semangat. Alumni SMA; SMK; dan MA itu masih menyisakan semangat "kepatuhan" yang mereka bawa dari sekolahnya. Buktinya: mereka mau disuruh apa saja oleh seniornya pada saat perpeloncoan. Mau berpakaian yang aneh-aneh di jalan-jalan, mau disuruh berbuat yang aneh-aneh oleh kakak tingkat. Sebelum ayam berkokok, mereka sudah stand-by di kampus. Semangat kepatuhan yang luar biasa - jika Anda melihatnya.

    Namun, tunggu saja satu-dua tahun! Semangat tadi akan berubah total. Mengapa? Simple: mereka mendapat contoh yang buruk. Dari siapa? Kakak tingkat? Bukan! Mereka dapatkan itu dari yang patut  digugu, yaitu "dosen".

    Bagaimana tidak? Dosen datang terlambat, dosen tak datang sama sekali, dosen menyalahi janji. Ironisnya, itu terjadi acap kali sehingga menjadi sebuah budaya (yang dianggap wajar - bahkan sudah semestinya terjadi, baik oleh si dosen maupun mahasiswanya). Jadi, tanpa disadari, budaya disiplin dan kepatuhan terhadap waktu yang sudah terbentuk selama kurang lebih dua belas tahun itu, sirna secara perlahan - tapi pasti. Jika Anda seorang mahasiswa, cobalah rasakan dalam-dalam! Bagaimana mungkin "tradisi jam 7" yang dipupuk selama 12 tahun bisa menjadi "tradisi jam karet"?

    Jadi: warga negara korupsi waktu, karena pejabatnya korupsi waktu, karena mahasiswanya (calon pejabat) korupsi waktu, karena dosennya (yang digugu) kurupsi waktu. Tampak seperti lingkaran setan, bukan? Tapi saya yakin Anda tahu: dari mana harus memulai jika kita ingin memperbaikinya.
  • Rata-rata maba yang sebagian besar baru lulus SMA, masih "berpengetahuan" polos. Mereka belum paham sepenuhnya praktek-praktek politik (trik dan intrik), meskipun pernah menjadi pengurus OSIS. Mereka bahkan - secara praktek - belum paham apa itu mark-up.

    Tapi, tunggu saja satu-dua tahun! Mereka akan menjelma menjadi ahli rekayasa dan tukang jilat. Mengapa bisa?

    Rata-rata dosen memberi nilai secara subyektif. Beberapa ada yang secara random. Penyebabnya? Ya itu tadi: mereka sering bolos, dan hanya punya sedikit waktu untuk mengenali mahasiswanya satu demi satu. Saat pengisian nilai, beberapa dosen punya kecenderungan untuk memberi nilai bagus pada mahasiswa yang dikenal saja, yang pintar mengambil hati mereka. Mahasiswa yang "paham", akan menjadi "pintar" menyikapi situasi ini. Yang "goblok"? Ya..., siap-siap saja jadi "macan kampus"! Jika pernah menjadi mahasiswa, pasti Anda tahu bahwa jadi mahasiswa cerdas saja tidak cukup untuk mendapat nilai bagus.

    Saat lingkungan bersifat subyektif, orang cenderung menjadi penjilat dan oportunis. Saat inilah fairplay jadi tak bermakna. Saat mahasiswa berpikir bahwa fairplay tak ada artinya, di saat yang sama ia akan berpikir bahwa belajar sungguh-sungguh tak ada gunanya. Bagaimana dengan syarat studi? Cukup main curang saja dan tipu-tipu. Bukankah ahli tipu-tipu adalah syarat untuk menjadi koruptor?

    Selama menjadi aktivis, mahasiswa banyak membuat proposal; banyak belajar mereka-reka pendanaan. Kecenderungannya: dalam membuat anggaran mahasiswa suka menggelembungkan dana hingga berlipat-lipat. Untuk jaga-jagakah? Bukan, tetapi untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Mengapa?

    Teman-teman saya dari berbagai kampus sering bilang, "Dosen-dosen dan pejabat-pejabat kampus itu kalau ada proyek juga suka 'makan uang' dan ambil untung sendiri jika ada proyek atau kegiatan kampus. Kita sering nggak dapat sama sekali. Jadi, mengapa kita tidak buat demikian jika ada kesempatan?"

    Bagaimana menurut Anda? Parah? Lebih parah lagi saat ada kecenderungan mark-up yang dilakukan oleh para aktivis dibiarkan oleh dosen dan pejabat kampus, karena ada indikasi mereka juga dapat "alasan" untuk mengucurkan dana dari kas. Kampus memang tempat yang aman dan ideal untuk berlatih menjadi koruptor sejak dini. Hahaha...!
  • Para dosen sering berpikir bahwa merekalah "raja" - setelah apa yang mereka peroleh dengan susah payah: gelar master; doktor; dan profesor itu. Jarang di antara mereka yang berpikir bahwasanya merekalah pengabdi. Tak percaya? Jika Anda pernah menjadi mahasiswa, coba ingat berapa orang dari sekian dosen yang berlapang dada saat pendapatnya Anda sanggah? Dari penyepelean mereka terhadap nasib mahasiswa, kita bisa tahu bahwa mereka tak peduli pada mahasiswanya. Tak peduli pada orang-orang di bawah Anda, adalah salah satu syarat 'tuk jadi koruptor. Dan, sifat buruk inilah yang diwariskan kepada "calon-calon pejabat" Anda. Pembaca yang Budiman boleh percaya atau tidak, banyak di antara para sarjana yang berpikir bahwa mereka berhak mendapatkan sesuatu yang lebih "dengan jalan apapun" - karena gelar yang telah susah payah mereka peroleh. Karena merasa telah banyak berkorban demi gelar, mereka merasa berhak mengorbankan orang lain pula.

    Padahal, guru-guru kita selama kurang lebih dua belas tahun selalu mengajarkan sifat-sifat baik seperti menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menjadi pemimpin yang baik, dan menjadi orang yang tidak zalim baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Hal tersebut sesuai dengan semangat Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Namun, dihancurkan semena-mena oleh kampus, yang mana cuma dijadikan tempat bisnis oleh para dosennya; dan tempat untuk mencari ijazah (modal kerja) bagi para mahasiswanya.
Mungkin bagi beberapa pembaca tiga poin pendapat saya tadi bersifat subyektif. Namun, kita mesti berpikir juga: mengapa para pemimpin kita korup dan jahat. Bukankah rata-rata pembesar itu output dari kampus-kampus? Pasti ada yang salah dengan kampus. Logikanya: kampus adalah tempat paripurna di mana seseorang ditempa secara formal. Pasti ada yang salah.

Tuesday, August 2, 2011

4 PENYEBAB PELAJAR MALAS BELAJAR

Masih ingat dengan pepatah Guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Kalau iya, apakah kira-kira Anda sudah paham betul apa makna yang tersirat di balik pepatah populer tersebut? Beberapa dari Anda saya yakini paham betul makna pepatah itu, tetapi mungkin lupa implementasinya.

Sejak zaman modern terbentuk, permasalahan yang terjadi di ruang lingkup kelas turut mengikuti timeline sejarah. Hipotesis atau bahkan hukumnya: "Semakin modern zaman, maka para pelajar menjadi semakin malas." Mengapa hal itu dapat terjadi? Atau..., bagaimana para pelajar (dalam hal ini: mahasiswa dan siswa, murid dan santri, atau apapun sebutannya) bisa menjelma menjadi pemalas?

Kita tidak hendak menafikan para pelajar yang rajin. Namun, mereka tentunya berjumlah minoritas, kalah banyak dibandingkan yang malas. Sementara dalam ilmu statistika, kelompok minoritas tidak bisa dijadikan sampel untuk pengambilan rata-rata; karena dapat mengaburkan hasil atau bahkan membuat hasil penilaian melenceng dari semestinya. Sebagai contoh: Juragan Amir kaya raya di kampungnya. Kebanyakan penduduk di  kampung Juragan Amir sering kelaparan. Tentu saja kita tak bisa membuat premis atau mengambil kesimpulan bahwa kampung Juragan Amir adalah kampung sejahtera, hanya karena seorang juragannya yang kaya raya.

Kembali ke topik. Berikut ini akan kita paparkan beberapa hal yang menyebabkan para pelajar bermetamorfosa menjadi para pemalas. Mungkin pembaca sekalian turut pula atau pernah merasakannya.

1. Dosen/guru sering telat masuk kelas

Tidak bisa kita pungkiri bahwa menunggu adalah suatu hal yang amat membosankan. Terlebih lagi bila yang ditunggu-tunggu adalah hal yang tak pasti. Dijamin Anda akan menjadi marah atau minimal sebal. 

Seorang mahasiswa yang sejak ayam berkokok sudah semangat bangun pagi; mandi sampai lupa sikat gigi; sarapan cuma makan roti, bisa tiba-tiba down tatkala setelah menunggu 1-2 jam ternyata sang dosen baru datang. Semangat yang tadinya membuncah, bisa sirna tak berbekas dalam 1-2 jam tersebut.

Contoh lain, lihatlah betapa liarnya murid-murid yang "ditinggal" oleh gurunya dalam kurun hanya 10 atau 15 menit! Mereka akan membuat kegaduhan dalam kelas yang dapat mengganggu siswa di kelas lain. Yang lebih parah: murid-murid itu akan berkeliaran ke luar kelas bahkan hingga ke luar pekarangan sekolah sehingga menimbulkan pemandangan "tidak sedap" terutama bagi siswa di kelas lain.

Saat guru mereka datang, niscaya akan sangat sulit bagi sang guru untuk mengumpulkan kembali siswanya tersebut; karena mereka sudah kadung "tertarik" pada hal lain dan malas untuk belajar. 

2. Dosen/guru tidak menepati janji yang telah dibuat

Dosen sering merasa bahwa mereka adalah sosok yang penting. Bahkan saking pentingnya, mereka sampai lupa bahwa tugas utamanya adalah untuk mengajar para mahasiswa. "Orang penting" tipe ini sering disibukkan oleh urusan-urusan yang tak ada hubungannnya dengan kelas dan mahasiswanya, seperti proyek; seminar di hotel A-gedung B; rangkap jabatan; dan lain sebagainya.

Akibat terlalu anggap enteng terhadap mahasiswanya, mereka seringkali mengabaikan janji yang telah dibuat, seperti jadwal rutin untuk mengajar; dan/atau jadwal make-up kelas. Yang paling sering dijadikan alasan adalah: "Mahasiswa harus lebih mandiri. Lebih banyak belajar sendiri!" Yang lebih parahnya, pakai persentase segala: "Mahasiswa sekian persen, dosen hanya sekian persen." Hal itu benar, tapi bukan berarti dapat dijadikan alasan untuk mangkir atau ingkar janji sama sekali. Coba tanya para mahasiswa - di mana saja - apakah pernah mereka berjumpa dengan dosen yang mangkir hingga satu semester!

Selain menjatuhkan semangat belajar, hal ini juga bisa menjadi contoh yang amat buruk. Jangan sampai mahasiswa kita berpikir bahwa suatu hari nanti saat mereka berada di atas; mereka bisa berbuat sekehendaknya dan bisa ingkar janji pada orang yang di bawahnya!

Kadang saya mencoba mengerti bahwa para dosen itu juga tengah berupaya untuk menjaga dapurnya agar tetap mengepul. Tetapi, kenikmatan yang kita peroleh, sedapat mungkin tidak mengorbankan kepentingan orang lain. Terlebih bila itu kita lakukan secara sadar. Jika kita memang menganggap kecil peran sebagai pengajar dibandingkan "ceperan" di luar, lebih baik kita lepaskan profesi pengajar itu - daripada makan korban. Padahal, orang tua siswa atau mahasiswa banting tulang, jual tanah-sawah, bahkan jual harga diri demi satu harapan: melihat putra-putrinya berhasil. 

3. Jadwal belajar yang tidak masuk akal

Pernahkah kita bertanya: "Apakah padatnya kurikulum memang benar untuk membuat anak-didik tambah cerdas, atau sekedar untuk mendatangkan proyek baru?" Jelas bahwa mata kuliah/mata pelajaran baru, berarti buku baru; LKS baru; seminar baru; anggaran baru; dan segala baru-baru yang lain.

Saya kira, para pembaca yang budiman sudah tahu bahwa di negara-negara maju, para anak-didik sudah dijuruskan sejak usia dini: SMP bahkan mungkin SD. Penjurusan berarti pelajaran yang diberikan menjadi lebih fokus, tidak melebar ke mana-mana. Penjurusan disesuaikan dengan "minat" dan "kemampuan" si anak. Tujuan penjurusan adalah untuk membuat pengajaran lebih mantap dan tidak sia-sia.

Coba bandingkan dengan kurikulum yang ditawarkan di negara kita! Mulai dari SD hingga perguruan tinggi sama saja. Padahal katanya: "Kalau ingin berhasil, kita harus fokus." Di mana teori itu dalam kurikulum kita? Maka, jangan heran apabila para mahasiswa dan para siswa kita menjadi pemalas bahkan cenderung menjadi pemberontak budaya! Itu semua akibat depresi yang mereka rasakan. Bagaimana tidak depresi? Anda saja jika oleh si bos diberi setumpuk pekerjaan dengan deadline yang "membunuh", kira-kira bagaimana jadinya?

4. Biaya pendidikan yang sulit dijangkau

Bukan hanya orang tua yang dibuat pusing bila biaya kuliah atau sekolah melangit, para pelajar pun demikian adanya. Jangan berpikir bahwa semua anak tidak tahu diri! Banyak di antara mereka tahu diri dan keadaan keluarganya, sehingga tak jarang kita jumpai para pelajar itu malas melanjutkan pendidikan dan lebih memilih bekerja setelah lulus. Hanya saja, alasan seperti itu jarang mereka mau sampaikan kepada orang tuanya langsung. Biasanya disampaikan kepada teman atau orang lain saat curhat-curhatan.

Saat faktor ekonomi lebih besar pertimbangannnya, niscaya orang akan malas untuk (sekedar) memikirkan hal lain yang tidak menghasilkan - seperti pendidikan misalnya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Apabila diamati, empat hal tadi adalah faktor internal utama yang selalu berpotensi menimbulkan kemalasan untuk belajar. Faktor yang datangnya dari dalam tubuh dunia pendidikan itu sendiri. Jika dibalik atau dinegasikan, keempat faktor tadi justru bisa menjadi solusi. 

Dosen/guru jadi lebih tepat waktu, dosen/guru jadi lebih tepat janji, kurikulum jadi lebih akomodatif dan manusiawi, biaya pendidikan yang tak membuat orang tua berpikir ulang untuk menyekolahkan anaknya. Negara kita bisa mulai dari hal-hal yang prinsipil seperti itu. Kita belum lagi membahas trik-trik menghilangkan kemalasan belajar, seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju - meskipun itu esensial guna mendorong semangat belajar. Di Amerika dan Eropa mereka menggunakan sarana audio-video dan multimedia untung merangsang anak-didik. Di sebuah negara di Skandinavia mereka bahkan mengizinkan murid-murid SD untuk mengenakan sandal-sandal unik (yang biasanya dipakai sebagai sandal tidur) hanya demi menambah antusiasme murid-murid itu datang ke sekolah. 

Monday, August 1, 2011

KEGAGALAN PENDIDIKAN INDONESIA

Saat diwawancarai oleh tvOne beberapa hari yang lalu - terkait dengan pernyataan kontroversialnya - Marzuki Ali sempat berkomentar bahwa kebobrokan bangsa ini berasal dari gagalnya pendidikan. Menurut beliau, sejak awal pendidikan lebih mementingkan bagaimana meraih nilai bagus ketimbang bagaimana meraih moral yang bagus.

Dalam hati saya mengamini komentar tersebut. (Cuma komentar itu lho! Bukan yang terkait pembubaran KPK.) Saya kemudian teringat betapa hancurnya pendidikan nasional kita. Padahal, boleh dibilang pendidikan adalah nyawa bagi sebuah bangsa. Bagaimana tidak? Seorang miskin; yang tidak punya banyak harta; namun punya pendidikan yang bagus; alias cerdas, niscaya akan mencapai kekayaan yang ia idam-idamkan - meski secara perlahan. Pelan tapi pasti, kira-kira begitu. Sementara, seorang yang kaya raya; tapi bodoh, niscaya akan semena-mena menghamburkan kekayaannya - hingga ludes. Ironi tersebut bisa mewakili situasi bangsa kita pada masa kini.

Bayangkan saja! Semenjak komersialisasi pendidikan lewat BHMN (yang belakangan dibatalkan MK); lewat alasan kemandirian pendidikan; atau segudang alasan lainnya, sekolah-sekolah dan kampus-kampus (terutama negeri) berlomba-lomba untuk menaikkan bea masuk dan uang SPP. Mereka juga giat menjual bangku-bangku (dengan harga yang tidak masuk akal) berlabel cadangan. Angkanya bisa menembus ratusan juta Rupiah.

Alhasil, banyak anak-anak pintar dan cerdas yang gagal melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA atau perguruan tinggi. Anehnya, anak-anak cerdas tersebut identik dengan keluarga kurang mampu. Lama-kelamaan, saya melihat kampus-kampus top Indonesia layaknya timnas sepakbola Indonesia, dimana squad atau komposisinya tidaklah mencerminkan potensi terbaik dari putra-putri tanah air. Mereka yang ada di panggung tersebut hanyalah mereka yang kebetulan beruntung, karena memiliki uang lebih; memiliki koneksi; atau benar-benar dapat hoki akibat status dan sebagainya. Menyedihkan nian.

Saya - saat ini - amat tidak yakin bila mahasiswa-mahasiswa yang duduk di gedung-gedung megah UI; ITB; UGM; ITS; Unpad; IPB; dan sebagainya, adalah squad terbaik yang dapat memenangkan "trophy piala dunia". Begitu pula dengan siswa-siswi yang duduk di sekolah-sekolah mentereng di tanah air (bahkan yang berlabel plus atau sekolah bertaraf internasional), mereka belum tentu best of the best. Mereka adalah segelintir anak-anak yang "beruntung".

Kampus-kampus terbaik yang sudah lama tersohor di negeri ini, berubah seperti Mozilla yang menginjak-injak serta meluluh-lantakkan pendidikan itu sendiri. Lihatlah bagaimana mereka menjual selembar formulir pendaftaran ujian dengan harga hingga 800 ribu Rupiah! Sekolah-sekolah yang berlomba-lomba mengejar status bertaraf internasional, menjelma menjadi sekolah-sekolah "bertarif" internasional.

Saya pikir setiap orang tua yang menyekolahkan atau mengkuliahkan putra-putrinya sudah khatam mengenai hal ini. Bagi mereka yang memiliki putra di perantauan, tentu akan merasa lebih tercekik lagi mengingat mahalnya uang kos dan biaya hidup di kota-kota besar tempat kampus-kampus dan sekolah-sekolah top itu berada. (Dan, ironinya lagi: akibat pembangunan yang sejak awal tak merata, hampir semua kampus dan sekolah top tersebut berada di kota besar.)

Mungkin pembaca sekalian berargumen, "Ah! Kalau pintar kan bisa dapat beasiswa," atau "Kalau mau pintar memang harus mahal." 

Lalu, saya akan bertanya, "Di manakah nasib buat si miskin dan si bodoh?"

Padahal, tujuan hakiki dari pendidikan adalah untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa". Dan, hal itu dijamin oleh undang-undang. Jadi, negara itu harusnya berfungsi untuk membuat masyarakat yang bodoh menjadi cerdas, dan untuk menjamin bahwa setiap warga negara yang bodoh itu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pintar. Kalau cuma membuat yang pintar menjadi pintar; atau yang kaya menjadi pintar, Ali Baba pun bisa. Yang pintar dan yang kaya tersebut sudah ada di UI, ITB, UGM, ITS, Unpad, IPB, dan lain-lain. Hehehe...

Jika kita terus berpikir ala kapitalis, (khusus untuk dunia pendidikan) percayalah bahwa kita tengah meletakkan masa depan bangsa ini di ujung tanduk! Tinggal menunggu kapan pecahnya.

Kebijakan kampus-kampus dan sekolah-sekolah top untuk memberikan beasiswa buat segelintir mahasiswa atau murid pintar, bukanlah solusi. Menurut saya, itu hanyalah formalitas untuk menunjukkan pada publik bahwa mereka juga peduli pendidikan. Padahal, (sekali lagi) tujuan pendidikan adalah untuk "mencerdaskan bangsa"; bukan segelintir orang. Maksudnya, biar yang pintar-pintar yang dapat beasiswa itu, nggak jadi pintar sendiri sehingga "memintari" masyarakatnya - seperti yang sering terjadi belakangan ini. Semestinya, kita semua sama-sama pintar sehingga sama-sama berpikir tentang baik dan salah. Bukan seperti yang terjadi sekarang: kita masih ribut tentang mana yang benar, mana yang salah. Itu contoh kasus yang menggambarkan bahwa pintarnya orang Indonesia masih jomplang.

Sekelumit masalah pendidikan di atas belum termasuk masalah: sekolah yang atapnya bocor, madrasah yang dindingnya hampir rubuh, masyarakat pedalaman yang masih buta huruf, atau kualitas dosen dan guru yang kurang profesional, atau kontroversi ujian nasional. Tetapi, minimal kita bisa mengetahui secuil: apa pendidikan itu, dan bagaimana ia semestinya dikelola (bukan dikomersilkan.)

Wednesday, February 23, 2011

TANGAN TUHAN

Lokasi: depan Lab. Telematika, Teknik Elektro - ITS, waktu: Rabu, 23 Februari 2011; pagi, antara 09.00-10.00

Saya duduk dengan seorang teman, menanti kedatangan dosen. Beberapa saat datanglah seorang pria paruh baya, dengan postur tinggi besar dan agak gemuk. Ia mengambil posisi duduk dekat saya, di bangku yang sama.

Pak Rus: Menunggu dosen ya, Mas?
Saya: Iya, Pak.
Pak Rus: Siapa?
Saya: Pak Hariadi, Pak.
Pak Rus: Oh...! Saya juga menunggu Pak Hariadi.
Saya: Mmm..., Bapak dosen di sini juga atau...?
Pak Rus: Oh! Saya mahasiswanya Pak Hariadi.
Saya: Ooo...! (Sambil mengangguk-anggukkan kepala) Mahasiswa S3 ya, Pak?
Pak Rus: Iya, Mas. Mas sendiri?
Saya: Saya mahasiswa S2, Pak.

Selanjutnya, lelaki itu pun beralih pertanyaan ke Mas Dirvi, teman saya, yang berdiri dekat tiang di depannya. Sementara saya kembali sibuk dengan artikel pada laptop yang saya pangku sejak awal.

Selang beberapa saat, saya tertarik dengan percakapan antara Pak Rus, Mas Dirvi, dan seorang ibu; mahasiswa S3; teman Pak Rus; yang datang kemudian. Perbincangan soal beasiswa lah yang mebuat saya tertarik.

Saya: Bapak kuliah S3-nya dapat beasiswa ya?
Pak Rus: Iya, Mas. Saya dari awal kuliah pasca dapat beasiswa.
Saya: Mmm..., bagaimana caranya, Pak? Lewat rajin baca-baca informasi di pengumuman ya?
Pak Rus: Iya, Mas. Saya ikutin info yang ada di tempat saya kerja.

Setelah perbincangan antara kami berempat, diketahuilah bahwa Pak Rus ini adalah seorang PNS di tempatnya bekerja, di Jojga. Namun, hanya sebagai seorang tukang kebun. Kontan hal tersebut membuat saya semakin tertarik pada pria berkukit coklat ini, yang juga berpenampilan simpatik, low-profile, dan tampak ramah.

Saya: Lho! Bagaimana ceritanya, Pak? (Tanya saya dengan penasaran. Teman saya pun tak kalah heran. Kami menyimpan kekaguman yang serupa.)
Pak Rus: Saya ini... D2-nya di teknik. D3 nggak selesain (karena suatu permasalahan yang diceritakannya pada kami, tapi tak akan saya paparkan di sini). S1-nya di ekonomi. S2 juga ekonomi.
Saya: Terus kok bisa S3 di teknik, Pak?
Pak Rus: Basic saya kan di teknik, Mas. Dulu waktu mau ambil S1, dosen saya bilang, "Ngapain Kamu ambil ekonomi? Nggak, nggak nyambung itu." Tapi saya tetap ambil saja. Saya kan dapat beasiswa.
Saya: Ooo...!
Pak Rus: S2-nya saya ambil manajemen. Lalu, dosen saya juga ada yang bilang begitu, "Ngapain Kamu ambil ekonomi? Nggak cocok. Banyak saingannya. Ntar susah ketrima kerja." Lha! Terus saya pun kuliah S2 lagi di teknik.
Saya: Lha! Bagaimana bisa, Pak? Kok bisa nyambung dengan teknik? (Saya sambil terpelongo.)
Pak Rus: Ya itu, berkat Tangan Tuhan, Mas. Kalau nggak, nggak bakalan mungkin. Saya juga lulus tepat waktu. Sementara ada tuh temen saya seangkatan S2-nya tapi nggak lulus-lulus sampai sekarang. Kadang saya jadi nggak enak pas ngasih-ngasih saran. Mereka malah jadi tersinggung.

Kami pun tertawa mendengar penjelasan Pak Rus yang polos dan low-profile itu.

Saya: Hebat ya, Pak! Bagaimana bisa? Apa Bapak rajin ke lab? Riset begitu? Bagaimana?
Pak Rus: Ya itulah, Mas. Saya juga nggak tahu. Biasa saja. Berkat Tangan Tuhan itu. Saya saja sampai sekarang nggak percaya. Terus..., habis tamat S2 saya juga langsung S3, seperti sekarang ini.
Saya: S2-nya dulu juga beasiswa?
Pak Rus: Iya, Mas. S1 saya dulu kan juga. Dari S1 itu. S2 juga. Sekarang S3 juga. Lumayan, per tahun dapat 36 juta dari Dikti. Itu langsung dapat. Walau saya harus presentasi dulu di Jakarta, di depan Dirjen. Orangnya sambil mantuk-mantuk dengar saya. He, he...! (Kami pun ikut tertawa ringan.)
Saya: Wah, hebat! Lumayan sekali itu, Pak. Bagaimana caranya?
Pak Rus: Ya itu: Tangan Tuhan, Mas. (Kata-kata yang sering sekali ia ucapkan. Tampak sangat bersyukur.)
Saya: Iya ya, Pak. Hari gini kita harus giat mencari beasiswa. Apalagi tuk pasca.
Pak Rus: Iya, Mas. (Iya mengamini sambil mengangguk ringan.) Ya...! Lumayan lah, Mas. Uang beasiswa kan lumayan buat tambah-tambah. Wong disuruh sekolah kok.
Saya: Hebat Bapak ya! Sekolah terus tanpa henti, sampai sekarang S3. (Saya berulang kali bertanya padanya tentang bagaimana ia bisa melewati itu dengan mulus hingga S3, dan bagaimana ia melakukan riset-riset akademik. Seolah saya tak percaya. Terlebih, ia mengambil bidang yang berbeda-beda untuk beberapa jenjang. Dan, lagi-lagi ia menjawab, "Berkat Tangan Tuhan.")
Pak Rus: Iya, Mas. Saya saja banyak yang crash di kantor (tempat ia sebagai PNS). Orang-orang di kantor pada ngomong, "Tukang kebun kok S3." Banyak yang skeptis dan nggak setuju, Mas. Ya..., gontok-gontokan mereka itu. He, he! (Kami pun ikut tertawa ringan. Dan, saya tetap tak bisa menyembunyikan kekaguman saya. Terutama saat tahu bahwa dulu saat lulus D2 dia hanya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang kebun yang urusannya bersih-bersih dan lain sebagainya - saat seseorang menawarkannya untuk jadi PNS.)
Saya: Hebat sekali, Pak!
Pak Rus: Berkat Tangan Tuhan, Mas. Saya juga nggak percaya bisa sampai sini. Tukang kebun kok S3.

Pak Hariadi, dosen yang ditunggu-tunggu pun, datang. Percakapan singkat, tapi sangat bermakna, pun usai. Namun, dari sana... saya sadar bahwa banyak hal yang tidak masuk akal bagi kebanyakan orang, tapi bisa tercapai selama Tuhan menghendaki; selama Yang Maha Kuasa menolong.

Tuesday, June 16, 2009

UAN & SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA


Selamat ya buat Adik-adik SMA yang baru saja lulus UAN! Tapi, buat yang belum lulus jangan patah arang dulu! Jangan putus asa, stres, atau malah jadi gila hanya karena UAN! Hidup Kalian masih panjang. Banyak hal yang jauh lebih penting daripada sekedar lulus UAN. Banyak kok orang yang bahkan tidak lulus SD, tapi sukses dalam hidupnya. Kertas boleh bicara, namun karakter tetap yang utama. Apa gunanya ijazah seabreg-abreg; dan nilai setinggi langit, jika karakter kita tidak mampu bersaing; tidak mampu menjawab segala tantangan zaman. Yang penting: jangan pernah berhenti berusaha! Tak boleh ada yang menghalangi perjuangan kita.

PD! PD! PD!

Bicara soal pendidikan di Indonesia, memang akan cukup banyak memancing kontroversi. Apalagi bila bicara soal UAN alias Ujian Akhir Nasional. Ada orang yang setuju, ada pula yang tidak. Saya tidak begitu tahu pihak mana yang jumlahnya lebih banyak: yang setuju, atau yang tak setuju.

Terlepas dari soal setuju atau tidak, ada hal yang jauh lebih penting, yakni sisi urgensi atau kepentingan. Bila kita memutuskan untuk membeli sesuatu - misal sepatu baru - tentu kita akan berpikir terlebih dahulu, "Ini penting atau tidak, ya?" Atau, "Sepatu gue masih ada. Masih bagus. Apa perlu ya beli yang baru?"

Nah! Jika dilihat dari sisi itu, UAN mungkin bisa saja dianggap penting. Beberapa pihak bilang bahwa UAN diperlukan untuk
  • mengukur kemajuan pendidikan di negara kita
  • menetapkan standar mutu pendidikan nasional
  • melakukan evaluasi pendidikan
  • dll.
OK! Poin-poin alasan tadi mungkin dapat diterima oleh akal sehat.

Namun, untuk meninjau setuju atau tidaknya kita terhadap pelaksanaan UAN, harus ada satu faktor lagi - yang tak kalah pentingnya. Fakto ketepatan. Pertanyaannya:

Tepat atau tidak tepatkah UAN dilaksanakan?

Banyak yang merasa bahwa pelaksanaan UAN tidaklah adil. Alasannya:
  • pendidikan di Indonesia belum merata
  • kelulusan pendidikan selama 6 atau 3 tahun tidak dapat ditentukan hanya dalam 3 atau 5 hari, atau hanya dalam beberapa hari saja
Jika kita adalah orang yang lebih suka melihat realita atau kenyataan ketimbang melihat hal yang muluk-muluk, tentu kita tahu bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia masih belum merata, baik dari sisi fisik maupun non-fisik. Lihat saja di berita-berita! Di beberapa daerah sering kita perhatikan sekolah yang hampir ambruk, atau sekolah yang atapnya tidak ada sehingga para siswa harus terganggu proses belajarnya. Dan, pemerintah cenderung tak peduli. (Hal seperti itu bahkan dapat terjadi di dekat pusat - Jakarta.)

Untuk kelulusan: sebagai orang yang ingin diperlakukan secara adil, tentunya kita tidak mau hasil jerih payah kita selama bertahun-tahun, hanya ditentukan - sukses atau tidaknya - berdasarkan penilaian beberapa hari saja. Dan, penilaian itu bukan dilakukan oleh orang yang selama ini berada di dekat kita, langsung mendidik kita, yaitu bapak atau ibu guru.

Sebagai manusia logis, tentu kita berpikir bahwa gurulah yang sebenarnya paling berkompeten untuk menilai proses belajar kita, karena merekalah yang tahu langsung seperti apa kita.


Banyak lagi faktor yang sebenarnya dapat memicu kontroversi seputar UAN. Namun demikian, kelayakannya dapat kita nilai dengan menggunakan dua sisi atau faktor tadi. Semuanya kembali lagi kepada logika kita sebagai manusia - dan tentu saja hati nurani kita.

Namun, ada yang perlu saya kritisi soal sistem pendidikan di negara kita: Indonesia. Setelah bertahun-tahun penyelenggaraan ujian nasional; atau ebtanas; atau semacamnya, mengapa tidak terasa perubahan positif yang signifikan - yang dapat dirasakan oleh seluruh anak bangsa ini?

Yang saya perhatikan justru:
  • moral bangsa semakin parah, anak-anak tawuran; kalau sudah gede korupsi
  • bangsa kita semakin miskin
  • bangsa kita tetap saja bergantung besar terhadap asing, sampai-sampai...
  • kita dilecehkan oleh bangsa lain.
Terlalu salahkan sistem pendidikan di negeri ini? Bagaimana mengubahnya?

Ada yang bilang bahwa problem solving alias pemecahan masalah, adalah metode yang pas untuk sebuah basis pendidikan. Sudahkah sistem pendidikan kita menjawab permasalahan sehari-hari?