(Courtesy of: lif1.com)
Selama semusim terakhir banyak di antara kita yang mungkin memperdebatkan
masalah tentang siapakah pelatih sepakbola terbaik di dunia. Apakah Josep
Guardiola atau Jose Mourinho? Melihat prestasi mentereng keduanya, sudah
pantaslah jika orang-orang menobatkan kedua nama tersebut sebagai yang terhebat
sejagad.
Guardiola sukses membesut Azulgrana (julukan FC Barcelona)
menjadi sebuah klub tersukses di Eropa dalam – setidaknya – tiga musim
terakhir. Anda mungkin masih mengingat betapa perkasanya Lionel Messi dan
kawan-kawan pada musim 2008/2009. Enam gelar juara sekaligus berhasil dihimpun
dalam satu musim, termasuk tropi La Liga Spanyol; tropi Copa del Rey; dan tropi
Liga Champions Benua Biru. Sebuah prestasi fenomenal yang baru pertama kali
diukir oleh sebuah klub sepakbola di dunia. Walaupun prestasi itu tidak
terulang pada musim 2010/11, Tim Catalan sukses kembali merajai negeri matador, serta menaklukkan tanah Eropa untuk merengkuh tropi Liga Champions yang
keempat sepanjang sejarah FC Barcelona. Otomatis pada era Pep Guardiola,
Barcelona berhasil merengkuh dua kali tropi kompetisi paling bergengsi antarklub
tersebut – yang mana hanya bisa dimenangkan masing-masing sekali oleh Johan
Cruyff dan Frank Rijkaard.
Jose Mourinho menandai awal dari kesuksesannya membesut
sebuah klub besar, dengan mengantarkan FC Porto menjuarai Liga Portugal; dan – secara
mengejutkan – membawa klub itu menjuarai Liga Champions pada musim 2003/2004.
Setelah kemudian pindah ke Chelsea, klub London itu disulap Mourinho menjadi salah satu anggota The Big Four selama kurang
lebih empat musim – sebelum akhirnya didepak oleh Si Taipan Minyak Roman Abramovich.
Hampir semua tropi berhasil ia kumpulkan di lemari pajang Stamford Brigde,
kecuali tropi Liga Champions. Dan, banyak yang yakin bila ia diberi kesempatan
semusim lagi oleh Si Pemilik Abramovich, maka gelar itu pun tentu akan
didapatkannya.
Perjalanan Mourinho selanjutnya diteruskan di klub Italia,
Inter Milan, setelah sebelumnya ia sempat menganggur selama beberapa waktu
pasca pemecatan. Dua musim di Italia, Inter berhasil dibawanya meraih Scudetti sebanyak
dua kali, serta – yang paling fenomenal – meraih treble winner pada musim 2009/2010. Padahal sejak tahun 1965 Inter
tak pernah berhasil lagi merebut tropi sakral tersebut. Terhitung 45 tahun
lamanya. Waw! Sebuah jarak yang sangat panjang. Otomatis, The Special One pun menjadi pujaan publik Giuseppe Meazza semenjak
saat itu.
Kini Mourinho menukangi klub megabintang Real Madrid.
Tercatat, ini adalah musim keduanya bersama Los
Galacticos. Dan, hingga saat ini Mourinho sudah berhasil – untuk sementara –
membawa El Real pada posisi puncak
klasemen La Liga hingga jornada ke-34, serta – untuk sementara
pula – membawa klub sembilan kali juara Champions Eropa tersebut ke babak
semifinal Liga Champions 2011/12 melawan klub Bavaria, Bayern Muenchen. Dan, klub
besutannya masih berpeluang besar untuk lolos ke final, menyusul Chelsea yang
telah terlebih dahulu ke final – setelah secara luar biasa berhasil
menumbangkan Barcelona.
------------------------------------
Mengulas pertandingan yang baru saja berakhir antara FC
Barcelona dan Chelsea yang berlangsung di Camp Nou, orang-orang tentu akan
berpikir, “Ada apa dengan Barca?” atau, “Apakah ini akhir dari era Barcelona?”
atau pula, “Apakah Pep Guardiola masih merupakan pelatih terbaik di dunia?”
Saya lebih tertarik pada pertanyaan terakhir, karena terkait
dengan topik dan pembahasan kita di awal tadi.
Jika Anda menyaksikan pertandingan barusan; yang berakhir
imbang 2-2 dimana Chelsea lolos berkat unggul agregat 3-2, niscaya Anda akan
menyadari bahwa strategi yang digunakan oleh Roberto Di Matteo (pelatih/caretaker Chelsea) serupa dengan
strategi yang digunakan oleh Jose Mourinho beberapa hari yang lalu – saat melakoni
laga El Classico. Pada laga tersebut
Madrid menang 2-1 dengan memanfaatkan strategi pertahanan rapat dan amat
disiplin ala catenaccio Italia, plus
serangan balik yang sangat cepat dan efektif. Tidak percaya? Lihat di Youtube video
gol kedua yang dicetak oleh Cristiano Ronaldo dengan diawali oleh umpan kelas
dunia dari Mesut Ozil! Uniknya, dua gol balasan Chelsea (masing-masing oleh Ramires
dan Fernando Torres) berawal dari aksi serangan balik yang serupa.
Jika kita cermati, strategi yang dipakai Di Matteo sangat
mirip dengan strategi yang dipakai oleh Mourinho saat El Classico. Dan, jika Anda mengikuti perkembangan berita sebelum
laga di Camp Nou tadi, ada indikasi bahwa Mourinho turut berperan dalam meracik
strategi guna melumpuhkan Barcelona. Menurut Goal.com, Petr Cech (kiper Chelsea) berkelakar bahwa Mourinho
mengadakan semacam rapat rahasia dengan para pemain Chelsea sebelum
pertandingan, guna membahas taktik dan strategi membendung Barcelona. Terus terang saja, bagi saya itu bukan sekedar kelakar. Bahkan kabarnya, Mourinho ikut membagi tips kepada asisten pelatih Chelsea tentang bagaimana
mengalahkan Barca – seperti yang baru saja ia lakukan pada El Classico. Menurut Goal.com
juga, The Special One mengirimkan SMS
motivasi kepada pemain-pemain Chelsea seperti John Terry, Frank Lampard, Ashley
Cole, dan Didier Drogba. Dan, seperti yang telah kita saksikan, Barcelona
berhasil dilumpuhkan di kandang sendiri dengan strategi ala Mourinho tersebut,
meskipun telah unggul pemain sejak babak pertama akibat kapten John Terry
dikartu merah oleh wasit asal Turki.
Mengulas contoh lain tapi masih dalam contoh serupa, saat
pertandingan perempat final antara FC Barcelona dan AC Milan, klub Italia
tersebut juga berhasil mengatasi permainan taka
tiki ala Messi dkk., baik di San Siro maupun di Camp Nou – walau akhirnya Milan
tersingkir juga berkat dua pinalti kontroversial hadiah dari wasit yang
diberikan kepada Lionel Messi. Dan, uniknya strategi yang digunakan Milan pun
persis dengan strategi yang dibuat oleh Mourinho, dimana sektor pertahanan
dibuat begitu disiplin, tanpa memberikan sedikit pun celah bagi para maestro
Barca seperti Messi; Xavi; Iniesta; dan Fabregas untuk beraksi di daerah kotak
pinalti – sehingga nyaris menyisakan seorang penyerang saja di depan. Saat ada
kesempatan memegang kendali, bola langsung diumpan ke depan dengan cepat kepada striker yang seorang itu untuk melancarkan serangan balik yang sangat
mematikan. Sangat terlihat bahwa pelatih Milan, Massimiliano Allegri mengadopsi
taktik tersebut – yang digunakan Mourinho saat sukses membesut Inter menghadapi
Barca.
Saat kita ulas lebih jauh ke belakang; di musim 2009/2010;
dimana Inter berhasil merebut treble
untuk pertama kalinya bagi klub-klub Italia, kita akan mendapati bahwa saat
berhasil menumbangkan Barcelona di Giuseppe Meazza dengan skor 3-1; Mourinho
untuk pertama kalinya menandai sebuah trade
mark kesuksesan strategi dalam menghadapi sebuah klub superior seperti
Barcelona – dimana nyaris seluruh skuad Spanyol yang juara Piala Eropa 2008 dan
juara Piala Dunia 2010 berasal dari klub itu. Di sinilah awal kembalinya
strategi ala Catenaccio yang puluhan
tahun lalu sempat sukses serta menjadi trade
mark Italia dan klub-klub sepakbolanya: Catenaccio
ala Jose Mourinho. Pun, saat leg
kedua di Camp Nou – meskipun kalah 1-0 akibat kartu merah kontroversial yang
diberikan kepada Thiago Motta, Inter tetap berhasil mengatasi perlawanan Barca secara
keseluruhan; dan melenggang ke final.
Rekam jejak tadi setelah diulas, terutama dari sisi
strategi, terasa sangat berbeda. Kita dapati bahwa Jose Mourinho – dengan tiga
klub berbeda yang dibesutnya – menjadi sebuah tokoh pembangun pondasi bermain
bagi anak-anak asuhnya. Hal itu sangat terasa dan terbukti setelah Mourinho
meninggalkan Porto, Chelsea, dan Inter. Setelah The Special One pergi, pondasi permainan yang berubah (dengan
pelatih yang baru) membuat klub-klub itu kesulitan untuk kembali kepada peak performance-nya. Lihat saja Inter
sekarang!
Chelsea pun demikian adanya sebelum Roberto Di Matteo masuk
menjadi careteker (pelatih sementara)
pasca dipecatnya Andre Villas Boas – setelah kekalahan memalukan 3-1 di kandang
Napoli pada perempat final Liga Champions musim ini. Di Matteo lah yang kemudian
mengubah segalanya secara ajaib dengan mengalahkan Napoli 4-1 di Stamford
Bridge, yang mengantarkan Chelsea ke semifinal, dan kini berhasil menyingkirkan
Barcelona untuk melaju ke babak final. Di Premier League pun Chelsea berhasil “menemukan”
form dan permainan terbaiknya. Semua
itu berkat kemampuan Di Matteo untuk mengembalikan Chelsea kepada bentuknya
yang terdahulu: bentuk di era Mourinho. Dan, itu pun diakui oleh Di Matto sendiri bahwa
ia banyak belajar dari mentornya tersebut untuk membentuk kesolidan tim di
lapangan dan di kamar ganti. Di samping itu, banyak pihak yang setuju bahwa
Chelsea yang sekarang telah kembali seperti Chelsea yang perkasa: seperti pada
era The Special One.
Pep Guardiola, meskipun menjadi pelatih tersukses sepanjang
sejarah klub Catalan, belum mampu menorehkan hal yang serupa seperti yang
ditinggalkan oleh Mourinho di tiga klub besar yang ia tinggalkan. Fakta jelas
mengatakan bahwa Pep baru melatih sebuah klub saja, yaitu FC Barcelona. Dan, banyak
pihak yang berpendapat bahwa pondasi yang dibawa Pep sekarang ini merupakan
warisan dari Frank Rijkaard, pelatih Barca terdahulu yang berhasil memberikan
tropi Liga Champions pada musim 2005/2006. Dan, jika Anda seorang penggemar
sepakbola yang rajin mengikuti perkembangan Liga Champions sejak awal 2000-an,
Anda akan sadari bahwa hal itu benar adanya. Permainan Barca pada era Rijkaard
nyaris sama persis dengan era Pep Guardiola, tanpa ada perubahan; kecuali
nama-nama para bintang dan para pemain lainnya.
Maka, wajar-wajar sajalah bila banyak fans bola yang
menyerukan tantangan: bila Pep ingin diakui sebagai pelatih terbaik di dunia,
maka ia harus membuktikannya dengan cara melatih klub lain, seperti Inter atau
MU atau bahkan Chelsea (menurut beberapa kabar miring yang ada akhir-akhir
ini). Dan, saya kira hal itu wajar dan adil. Pep memang harus membuktikan
terlebih dahulu kemampuannya meletakkan pondasi di klub-klub lain, terutama di
luar Spanyol, serta membawa klub-klub itu meraih kesuksesan yang sama seperti
yang ia lakukan di Barcelona – seperti yang telah dibuktikan oleh Mourinho.
Jadi, wajarlah pula lah jika kita menobatkan Mourinho sebagai pelatih
terbaik di dunia saat ini (bukan hanya yang termahal gajinya) – terlepas dari
beberapa kontroversi terkait sikap dan omongannya. Omongan yang kasar dan sikap
yang cenderung meledak-ledak bagi sebagian orang justru mencerminkan kejujuran
dan “keapa-adaan” seorang Jose Mourinho. Di zaman telekomunikasi dan informasi
seperti sekarang ini, kadang sulit untuk membedakan antara kekasaran omongan
dan kejujuran. Saya pikir kita sudah kenyang mendengarkan omongan lembut tapi
penuh tipu daya.
Dan, secara pribadi saya berpendapat, jikalau pun ada
pelatih lain yang lebih hebat daripada Mourinho dalam kurun seabad terakhir,
dialah Vittorio Pozzo yang membawa Italia juara Piala Dunia dua kali
berturut-turut, yakni 1934 dan 1938.
Salam olahraga,
‘Ammar Lelo Andiko, fan sepakbola